Kata “HARAM” untuk yang GOLPUT, tepatkah?


-->
Written by Delta Rahwanda

Langkah MUI dalam memfatwakan haram merupakan cara efektif untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia. Tanpa adanya fatwa haram, para perokok seharusnya mengerti bahwa rokok merupakan hal yang sangat berbahaya untuk kesehatan tubuh. Meskipun beberapa ulama mengatakan bahwa rokok bukanlah sebuah hal yang haram, namun jelas bahwa rokok menimbulkan dampak yang sangat fatal terhadap tubuh si perokok ataupun orang-orang yang ada di lingkungan si perokok.
Yang jadi uneg-uneg saya, fatwa MUI berbarengan dengan fatwa diharamkannya GOLPUT (Golongan Putih). Saya kurang setuju dengan adanya fatwa haram untuk golput. Yang lebih saya khawatirkan adalah apa yang jadi uneg-uneg saya juga terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Haram atau tidaknya suatu hal tentunya sangat erat sekali dengan peraturan fiqih (Bahkan beberapa ulama mengatakan yang berhak mengharamkan suatu hal adalah mutlak hak ALLAH SWT, seseorang tidaklah berhak mengharamkan sesuatu hal). Di luar boleh atau tidaknya MUI menfatwakan haram suatu hal, yang saya rasakan justru bergesernya makna kata haram itu sendiri. Saya sebagai masyarakat awam, mengenal kata haram sebagai kata yang sangat religius artinya sangat dekat sekali dengan garis ketentuan Allah SWT. Jika kita melakukan apa yang diharamkan maka kita mutlak akan berdosa. Namun jika MUI juga mengharamkan golput maka predikat MUI sebagai wadah dari para ulama pun bergeser/ berkurang nilainya. Seolah-olah ulama juga sudah mulai mencampur-adukkan politic system dengan agama. Sangat disayangkan jika kaidah agama di paksakan masuk ke dalam sebuah kancah politik.
Harus diketahui bahwa setiap individu memiliki langkah politik sendiri dan berhak melakukannya tanpa adanya paksaan dari fihak manapun. Salah satu langkah politik yang berhak dilaksanakan adalah dengan melakukan GOLPUT. Hal ini dilakukan karena banyak hal seperti ketidakpercayaan terhadap sosok yang akan dipilih, tidak mendapatkan kartu pemilih, tidak setuju dengan system demokrasi dan lain-lain. Maka dari itu, langkah terbaik yang akan dilakukan adalah dengan GOLPUT.
Jika GOLPUT diharamkan? Mengacu lagi kepada kata haram tadi bahwa jika kita melanggar yang ditetapkan maka kita akan berdosa. Di sinilah letak permasalahannya. Jika seseorang GOLPUT, lantas apakah dia harus berdosa lantaran MUI telah mengharamkannya? Sedangkan GOLPUT tidak berhubungan dengan fiqih agama kita. Jika hati nurani saja tidak yakin dengan sosok yang akan menjadi pemimpin kemudian ia tidak memilih, apakah dia kemudian harus berdosa? Memilih dalam pemilu memanglah sebuah hak setiap warga Negara karena warga negara haruslah ikut andil dalam pemilihan presiden, namun memilih bukanlah sebuah kewajiban yang kemudian dihubungkan dengan ketetapan agama hingga berdosa jika tidak ikut andil.
Kemudian kekhawatiran saya yang kedua adalah bergesernya makna kata HARAM dalam masyarakat kita. Jika sebuah lembaga memiliki wewenang yang tinggi dalam peraturan agama, dikhawatirkan lembaga tersebut tidak mengetahui batasan yang berhak dilakukan hingga batas mana. Masyarakat akan menilai kata haram bukanlah hal yang sakral lagi dan akan merambat kepada ketetapan-ketetapan yang murni ketetapan ALLAH SWT sebelumnya. Maksud saya akan timbul keragu-raguan dalam diri masyarakat muslim, lantaran begitu mudahnya seseorang atau lembaga mengharamkan sesuatu hal. Belum lagi fatwa haram untuk sms undian, golput, yoga dll akan menambah mempengaruhi proses berfikir masyarakat dan akan semakin membuat masyarakat ragu dengan ketetapan sebelumnya. Penulis berharap semoga hal ini tidaklah terjadi, amin.
Menurut penulis, kata haram tidaklah tepat untuk golput namun sebaiknya menggunakan kata LARANGAN. What do you think?
Ditulis tanggal 30 Januari 2009

Comments