WASPADA TERHADAP MASA ORIENTASI SISWA


-->
Ditulis oleh: Delta Rahwanda
Staff Pengajar di UPT Balai Bahasa Universitas Malahayati

Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) baru saja dilewati oleh para siswa dan siswi kita. Beribu-ribu remaja kita menggantungkan harapannya pada ujian masuk ini. Impian masuk perguruan tinggi negeri tinggal menunggu hasilnya saja. Dan kemarin tepatnya tanggal 1 Agustus 2008 adalah puncak dari perjuangan mereka untuk mendapatkan kursi dibangku kuliah. Telah tiga tahun mereka lewati dengan berbaju putih abu-abu. Dan tahun ini bagi mereka yang lulus akan menjadi warga baru pada sebuah universitas. Seorang warga baru yang benar-benar harus dikenalkan dengan situasi/ keadaan dan penghuni lama kampus. Penyambutan ini benar-benar menjadi ajang yang ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa senior. Tradisi ini telah sering kita dengar dan mereka beri nama pelonco/ orientasi.
Sebuah tradisi yang sangat kuno namun tetap saja dipertahankan. Bermula dari suku-suku tua di dunia ini yang secara natural akan selalu menyeleksi dan memilih orang asing untuk menjadi salah satu anggota kelompok mereka. Biasanya dengan menunjukkan kekuatan dan pertahanan tubuh mereka. Bagaimana kekuatan fisik mereka untuk berjalan jauh, kemampuan berburu, bertahan hidup, ketahanan tubuh yang kuat dan lain-lain. Jika dianggap kuat maka akan dengan mudah masuk ke dalam kelompok. Bagi mereka yang tidak memenuhi criteria kekuatan maka akan tersingkir.
Telah kita ketahui bersama bahwa tradisi ini telah lama menjadi kebiasaan wajib dalam dunia pendidikan. Namun, kita tidak pernah tahu sejak kapan kegiatan ini diwajibkan dan siapa yang telah mewajibkannya? Kebiasaan ini ternyata tidak hanya menjalar di dalam dunia pendidikan kita namun juga mempengaruhi perilaku remaja kita. Masih ingat dengan kasus geng motor di Bandung? Mereka diadu satu dengan yang lain hanya untuk menjadi anggota geng mereka. Belum lama ini juga terendus kekerasan yang dilakukan oleh geng motor yang beranggotakan para putri-putri kita bahkan masih mengenakan seragam sekolahnya. Tradisi peloncoan juga berlaku di dalam sebuah kelompok-kelompok atau instansi resmi maupun tidak resmi. Di negara-negara barat, tradisi peloncoan telah dihilangkan sejak lama karena kenyataanya berdampak buruk pada psikologis siswa.
Bisa jadi tradisi ini menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan orang tua mahasiswa baru. Masih teringat jelas dibenak kita, video kekerasan yang terjadi di STPDN. Bagaimana mereka para junior disiksa dan dipukuli oleh para seniornya. Dengan beralaskan sebuah kata yaitu orientasi, maka para junior semena-mena memukuli para juniornya. Tentu saja sebuah kekerasan akan berujung pada sebuah maut. Ada beberapa mahasiswa STPDN yang menjadi korban kekerasan dan akhirnya menginggal.
Baru-baru ini, marak ditayangkan kasus kekerasan di STIP (Sekolah Tinggi Pelayaran Indonesia) sehingga mengakibatkan satu mahasiswa meninggal. Hal yang sedikit ganjil adalah kemana para dosen-dosen tersebut? Sepertinya para senior bertindak tanpa sepengetahuan para dosen? Atakah para dosen sengaja hanya menutup mata?
Lalu kenapa pelonco memiliki pergeseran makna dan cenderung identik dengan kekerasan? Pada awalnya, sebuah orientasi atau pelonco bertujuan mengenalkan keadaan kampus kepada para mahasiswa baru dan bermaksud untuk meningkatkan rasa kebersamaan di antara para mahasiswa baru. Namun dengan berjalannya waktu, tentu saja tujuan ini mulai bergeser sedikit demi sedikit dan akhirnya benar-benar menjauh dan cenderung identik dengan kekerasan. Apalagi tanpa di awasi oleh para dosen kampus. Jiwa muda yang tertanam pada diri mahasiswa secara tidak langsung berpengaruh pada kegiatan yang mereka lakukan. Jiwa muda ini kerap sekali ingin menunjukkan sebuah kekuatan yang mereka miliki dan cenderung menonjolkan kebanggaan yang berlebih kepada kelompok atau organisasi yang mereka ikuti. Berawal dari hal-hal tersebut, akan muncul rasa dendam untuk membalasnya kelak kepada junior mereka. Berlebih pelonco di jadikan tradisi yang wajib dilakukan. Kembali lagi kepada asal usul pelonco yang penulis ceritakan diatas. Berawal dari sebuah suku yang primitif dan nomaden, namun masih tetap saja tradisi ini dilakukan oleh masyarakat yang terdidik saat ini. Kita hidup di zaman yang sudah serba modern namun jangan-jangan pola-pikir kita yang masih sangat primitive.
Sebenarnya siapakah yang patut disalahkan? Para senior yang getol dengan adanya pelonco dan menganggap pelonco adalah suatu tradisi yang wajib? Atau para dosenkah (pihak kampus) yang harus disalahkan? Pada dasarnya, sebuah pelonco atau masa orientasi akan memberi manfaat yang maksimal jika dilaksanakan dengan pengawasan yang maksimal juga. Sebelum pelaksanaan pelonco, sebaiknya diatur terlebih dahulu siapakah yang akan mengadakannya? Pelonco yang seperti apa yang akan dilaksanakan? Siapakah yang mengawasi? Apa tujuan dan manfaatnya?
Penentuan siapa yang akan menjadi pelaksana pelonco merupakan factor dasar yang harus dipertimbangkan. Alangkah baiknya jika pelaksana adalah para mahasiswa dan dosen (fihak kampus) yang benar-benar memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Pengawasan yang terus-menerus juga merupakan faktor yang sangat penting. Jika pelonco masih dianggap sebuah tradisi yang harus dilakukan, maka alangkah baiknya jika semua pihak harus saling menjaga dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap penyelenggaraan pelonco, baik dari fihak kampus ataupun mahasiswa itu sendiri.
Penulis bukanlah seorang yang pro ataupun kontra dengan tradisi ini, namun penulis hanya sekedar menghimbau dan mengingatkan jika tradisi ini harus tetap dilaksanakan, bukanlah suatu masalah namun berjaga-jaga jika ada suatu hal yang tidak diharapkan terjadi. Bukankah mempersiapkan suatu hal dengan baik untuk menghadapi sesuatu hal akan menjadikan hal tersebut menjadi lebih baik pula? Dengan adanya rasa tanggung jawab bersama dan rencana yang jelas, maka sebuah tradisi pelonco tidak akan menimbulkan dampak buruk, namun akan benar-benar menjadi sebuah moment yang tak terlupakan oleh para mahasiswa baru. Begitu juga dengan para orang tua, mereka akan benar-benar merasa tenang menitipkan anak mereka di suatu kampus.
Atau, adakah sebuah solusi yang ideal? Dengan mengganti isi dari pelonco tersebut dengan kegiatan yang akademik seperti permainan debat, diskusi, seminar dan banyak lagi. Ini akan memberikan sebuah manfaat yang jauh lebih berguna bagi para mahasiswa baru. Mari kita berfikir bersama-sama apa manfaat yang dihasilkan dari tradisi pelonco ini. Akhirnya sekali lagi penulis berpesan dan ini mungkin mewakili suara hati para orang tua mahasiswa baru, “Kita harus lebih waspada menghadapi tradisi pelonco dan jangan lagi ada korban”.

Comments