Melanglang Pandang di Lubang Jomblang


Oleh: Delta Rahwanda

Berpindah. Aku pun kini berpindah menuju negeri indah yang lekat dengan budaya moyang. Yogyakarta, dekat di hati setiap nurani. Satu titik berada di sebelah tenggara merupakan tambatan hati sejak melihatnya dulu pada dimensi datar dalam layar. Kekosongan dan kehampaan mendera hati, juga mendatangkan misteri tatkala kita mengerti sekelumit saja tentangnya. Datangi. Iya, kunjungi agar hati makin erat melengkapi. Mata ini telah siap sehati untuk menghantarkan pandang menuju dunia lain nan gelap namun cantik bak mayang. Lubang Jomblang, para pejalan menyebutnya.
 “La Jogja itu pusate budaya Jawa kok mas” aksen kental bapak tukang becak berbalut baju lurik dan bertopi blangkon menjelaskan sembari mengayuh pedal. Anggukku pertanda setuju. Mengenang empat tahun aku bercengkrama dengan suasana syahdu ini untuk mengejar mimpi menjadi sarjana. Serasa mimpi seperti mimpi ketika kaki menapak lagi di tanah istimewa ini. Sebuah tanah istimewa sebagai pusat budaya segala Jawa.
Nasi angkringan, kepala ayam goreng terigu, mendoan, burjo dan gudek tetap teristimewa dan terkenang rapi. Mereka menjadi menu pertama perjalanan temu kangen ini. Angkringan langganan dahulu kudatangi lagi meski perut tak meminta untuk diisi. Sekedar untuk melepas rindu dan memanggil memori.
Pagi hari, aku beranjak menuju tenggara. Menuju kota penuh gua surgawi, Gunung Kidul. Tanpa henti dan menuju pasti merambah Pedukuhan Jetis Wetan, Desa Pacarejo. Menuju gua vertikal penuh misteri, Gua Jomblang. Banyak kisah tersimpan di balik gua ini. Dibantu oleh beberapa sahabat yang bertugas aku “dikirim” menggunakan tali menuju dasar gua. Tidak mudah memang.  Tanaman purba tumbuh subur di dasar dan dinding gua. Sangat terasa begitu kecil diri ini ketika tepat menggantung sebelum menyentuh dasar. Bersandar di pohon kecil adalah upaya menenangkan diri sesaat setelah menyentuh dasar gua. Begitu besar dan Indah!


Jalan Jomblang disematkan oleh warga setempat



Gelap. Iya gelap ketika kaki menuju titik fenomenal gua ini. Kakiku melangkah ragu menuju setiap pijakan khusus yang sengaja dibuat untuk membantu pada pejalan. Samar-samar terdengar suara air mengalir. Semakin jelas semakin jelas. Masih saja gelap. Lalu rintik cahaya samar menyapa.
Mata terbelalak ketika bertemu dengan sebuah keindahan ciptaan-Nya. “Light of Heaven” memang kata yang tepat untuknya. Di dalam perut bumi ini, aku hanya mengenal dua warna saja, hitam dan putih. Namun keindahan begitu nyata di depan mata. Lubang berdiameter sepuluh meter tepat di atasku, menciptakan pijar indah dari cahaya matahari yang mencoba menembus alam dasar gua. Sungai besar dengan air yang jernih dan segar mengalir tanpa henti. Siapa sangka, gunung kidul yang khas dengan kegersangan rupanya menyimpan sumber air yang begitu dahsyat di dalamnya. Sebuah keajaiban luar biasa. Siluet adalah gambar terbaik dari gua ini. Menyusuri aliran sungai sejauh 1 km sudah merupakan sebuah kecukupan buatku. Nyata sudah bahwa dunia bawah memang tak kalah indah. Memandang setiap detail gua adalah caraku untuk mencoba akrab. Semua kurekam dalam memori agar menjadi kenangan indah kelak. Lepas siang hari, kakiku berat melangkah menuju titik pertama aku turun. Berat rasanya mata ini melepas pandang. Kemudian, dengan cara yang sama aku ditarik menuju dunia “atas”. 

Bibir Luweng tempat masuk gua
Ketika turun menuju dasar


Bercengkrama dengan warga lokal adalah kemesraan berikutnya. Lemah lembut adalah sebuah khas yang kunikmati dari warga Jogjakarta. Layaklah jika tatakrama di sini menjadi sebuah patokan kebaikan yang berlaku secara umum di masyarakat kita. Tepat empat sore, aku kembali menuju peraduan dengan kenangan penuh makna.
Mengenang kekonyolan masa lalu menjadi topik utama obrolanku dengan seorang sahabat lama semasa kuliah. Kami menuju sebuah atraksi kesenian di Candi Prambanan selepas pukul enam sore, Ramayana Balet. Ratusan orang ikut andil dalam setiap episode kisah Hindu ini. Para penari, make up artist, sutradara dan lain-lain kompak dalam kesenian indah ini. Alur cerita yang mudah di cerna menjadi kesan tersendiri buatku yang tak begitu mampu memahami karya seni tari. Pakaian khas Jogja para penari juga menjadi konsentrasiku lainnya. Pernah aku membaca bahwa tarian di Jogjakarta sangatlah banyak jenisnya seperti wayang wong, wayang kulit, wayang tengul, wayang klithik, kethoprak, karawitan dan jathilan“. Dan yang sedang kusaksikan ini barangkali termasuk sendra tari wayang wong. “Semoga semua budaya ini selalu terjaga” gumanku dalam hati. Tengah malam, aku menyatukan kelopak mata dan siap menyambut keindahan lainnya esok hari.
Tepat pukul enam lima belas, suara gamelan mengiringiku makan pagi di restaurant hotel. Aku memilih jadah tempe dan tengkleng sebagai menu pagi. Sekali lagi alasanku karena rindu.
Layar putih terbentang dengan beberapa wayang berlakon. Aku hanya menerka-nerka cerita kesenian ini karena tak bisa kumengerti bahasa sang dalang. Namun tetap saja sebuah keindahan buatku. Aku duduk bersebelahan dengan beberapa turis luar negeri yang sudah pasti lebih bingung ketimbang aku. Sesekali aku membingkai interior rumah Joglo tempat kesenian wayang kulit ini berlangsung. Khas, sangat khas dengan budaya Jawa.
Malioboro, goa Jomblang, goa Cokro, gunung purba Nglanggeran,  gua Mendep, Kalisuci, candi Prambanan, Ramayana Balet, Wayang Kulit, rumah Joglo, Keraton Jogja, alu-alun dan lain-lain menjadi persinggahanku kali ini di kota Jogjakarta. Namun keunikan yang aku kunjungi barulah keindahan se-ujung kuku. Masih banyak ratusan destinasi lainnya yang berlokasi di kota indah loh jinawi ini.
Jogjakarta, iya benar dia punya segalanya. Kota Sejuta budaya. Kota yang menjadi  kiblat para seniman kita. Batik, tari, makanan khas, penyanyi, pelukis, aktor, ulama semuanya dia punya. Tidaklah berlebihan jika banyak orang menyebut Jogjakarta sebagai  “Urat nadi budaya Jawa”. Karena dia benar-benar berbudaya.
Melanglang pandang kali ini telah usai. Aku semakin mengerti bahwa keistimewaan kota Jogjakarta memang tak pernah berhenti. Aku menutup perjalanan  kali ini dengan menuju pusat oleh-oleh. Bakpia, yangko, brem, geplak dan gudeg menjadi cangkingan wajibku ketika pulang menuju keluarga.  Satu yang selalu terngiang, Jogja indah dan aku jatuh cinta dengan budayanya. Putih. Benar-benar putih seputih hati para penghuni Jogjakarta. The last but not least, Jogjakarta is the beating heart of Javanese culture.


Malioboro, destinasi wajib Jogjakarta
Light of Heaven
Siluet adalah yang terbaik di sini

Comments