Menunggang Yamaha Vixion Menuju Kota Budaya



Oleh: Delta Rahwanda

Berawal dari obrolan bersama beberapa kawan akhirnya Jogjakarta menjadi tujuan touring kali ini. Menentukan tanggal dan waktu adalah bagian tersulit karena kami memiliki waktu libur kerja yang berbeda-beda. Namun setelah perbincangan yang ulet, akhirnya tanggal touring berhasil ditentukan. Rasanya tidak sabar diri ini menunggu momen perjalanan kami. Mengenang empat tahun aku bercengkrama dengan suasana syahdu untuk mengejar mimpi menjadi sarjana. Sebuah tanah istimewa sebagai pusat budaya segala Jawa. Nasi angkringan, kepala ayam goreng terigu, mendoan, burjo dan gudek tetap teristimewa dan terkenang rapi. Dialah Jogjakarta sebuah kota di mana saya selama beberapa tahun pernah menimba ilmu.

Sejak semalam saya sudah tak jenak lagi tidur. Sesekali terbangun lantaran esok hari adalah yang ditungu-tunggu. Dua hari yang lalu motor Vixion sudah saya servis sebagai salah satu persiapan perjalanan ini. Semua perlengkapan telah tersusun pada box motor. Pukul 07.00 kami bertemu di titik kumpul yaitu di halaman parkir musium Lampung. “Bismillah” doa yang terucap sesaat sebelum menarik gas. Perlahan namun pasti kami menuju pelabuhan paling selatan Sumatra, Bakauheni.  Sekitar pukul 11.00 siang kami telah berada di ruang VIP kapal RORO. Momen ini kami manfaatkan untuk beristirahat sembari makan siang. Alunan musik orgen mengiringi aktifitas kami dan para penumpang lainnya.

Titik kumpul di depan musium Lampung

            Malam Pertama
Roda motor perlahan melambat ketika kami memutuskan untuk makan malam di sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 8 jam dari Jakarta. Sebenarnya kami sempat berhenti sejenak untuk shalat Ashar di sebuah masjid di pinggiran kota Jakarta. Sembari menikmati makan malam yang sebenarnya sudah tak layak disebut makan malam karena waktu menunjukkan pukul 23.00. “Kata bapak penjual tahu  tadi, ada lapangan dekat sini. Kita bisa mendirikan tenda di sana malam ini” jelas salah satu kawan saya disusul anggukan yang lain pertanda setuju. Jarum speedo menunjuk ke angka 30 km/ jam ketika kami menuju lapangan tersebut. Sesekali saya mendengarkan suara mesin motor. Meski telah berjalan non-stop seharian, saya tidak merasakan perubahan apapun pada mesin motor saya. Dan yang membuat saya lebih terkesan adalah konsumsi bensin yang begitu irit karena sejak pagi hingga malam saya belum mengisi tank motor. Setelah mengunci motor, saya memejamkan mata untuk menyambut esok hari. Saya memilih tidur di depan tenda bersama 3 orang kawan.

Hari kedua
Menuju POM terdekat untuk mengisi bensin sekaligus mandi adalah aktifitas pertama kami. Kemudian mencari spot untuk makan pagi, kami berhenti di sebuah warung makan yang menyajikan menu nasi uduk. Canda dan tawa mengisi sarapan kami. Melaju dan terus melaju untuk semakin dekat dengan tujuan. Berputar dan terus berputar tanpa lelah adalah tugas si roda bundar. Hingga akhirnya sore hari kami sampai di Ring Road kota Jogjakarta dan stang motor langsung saya arahkan menuju Malioboro. Menghabiskan malam di spot ini adalah sebuah kenangan yang sangat berharga dalam hidup kami.

Istirahat sejenak

Hari ketiga
Pagi hari, kami beranjak menuju tenggara. Menuju kota penuh gua surgawi, Gunung Kidul. Tanpa henti dan menuju pasti merambah Pedukuhan Jetis Wetan, Desa Pacarejo. Menuju gua vertikal penuh misteri, Gua Jomblang. Banyak kisah tersimpan di balik gua ini. Dibantu oleh beberapa sahabat yang bertugas kami “dikirim” menggunakan tali menuju dasar gua. Tidak mudah memang.  Tanaman purba tumbuh subur di dasar dan dinding gua. Sangat terasa begitu kecil diri ini ketika tepat menggantung sebelum menyentuh dasar. Bersandar di pohon kecil adalah upaya menenangkan diri sesaat setelah menyentuh dasar gua. Begitu besar dan Indah! Gelap. Iya gelap ketika kaki menuju titik fenomenal gua ini. Kakiku melangkah ragu menuju setiap pijakan khusus yang sengaja dibuat untuk membantu pada pejalan. Samar-samar terdengar suara air mengalir. Semakin jelas semakin jelas. Masih saja gelap. Lalu rintik cahaya samar menyapa. Mata terbelalak ketika bertemu dengan sebuah keindahan ciptaan-Nya. “Light of Heaven” memang kata yang tepat untuknya. Di dalam perut bumi ini, aku hanya mengenal dua warna saja, hitam dan putih. Namun keindahan begitu nyata di depan mata. Lubang berdiameter sepuluh meter tepat di atas kami, menciptakan pijar indah dari cahaya matahari yang mencoba menembus alam dasar gua. Sungai besar dengan air yang jernih dan segar mengalir tanpa henti. Siapa sangka, gunung kidul yang khas dengan kegersangan rupanya menyimpan sumber air yang begitu dahsyat di dalamnya. Sebuah keajaiban luar biasa. Siluet adalah gambar terbaik dari gua ini. Menyusuri aliran sungai sejauh 1 km sudah merupakan sebuah kecukupan buatku. Nyata sudah bahwa dunia bawah memang tak kalah indah. Memandang setiap detail gua adalah caraku untuk mencoba akrab. Semua kurekam dalam memori agar menjadi kenangan indah kelak. Lepas siang hari, kakiku berat melangkah menuju titik pertama kami turun. Berat rasanya mata ini melepas pandang. Kemudian, dengan cara yang sama kami ditarik menuju dunia “atas”.  Bercengkrama dengan warga lokal adalah kemesraan berikutnya. Lemah lembut adalah sebuah khas yang kunikmati dari warga Jogjakarta. Layaklah jika tatakrama di sini menjadi sebuah patokan kebaikan yang berlaku secara umum di masyarakat kita. 

Mengenang kekonyolan masa lalu menjadi topik utama obrolanku dengan seorang sahabat lama semasa kuliah yang menelpon dan ingin bertemu dengan kami. Kami menuju sebuah atraksi kesenian di Candi Prambanan selepas pukul enam sore, Ramayana Balet. Ratusan orang ikut andil dalam setiap episode kisah Hindu ini. Para penari, make up artist, sutradara dan lain-lain kompak dalam kesenian indah ini. Alur cerita yang mudah di cerna menjadi kesan tersendiri buatku yang tak begitu mampu memahami karya seni tari. Pakaian khas Jogja para penari juga menjadi konsentrasiku lainnya. Pernah aku membaca bahwa tarian di Jogjakarta sangatlah banyak jenisnya seperti wayang wong, wayang kulit, wayang tengul, wayang klithik, kethoprak, karawitan dan jathilan“. Dan yang sedang kami saksikan ini barangkali termasuk sendra tari wayang wong. “Semoga semua budaya ini selalu terjaga” gumanku dalam hati. Tepat 22.00, kami melaju motor menuju Pantai Parang Tritis untuk mendirikan tenda di sana. Bintang dan deburan ombak menjadi sahabat kami malam itu. Beberapa kawan terlihat sibuk memeriksa kondisi tunggangan mereka sebelum tidur.
Goa Jomblang
Jalan Malioboro

Hari keempat
Layar putih terbentang dengan beberapa wayang berlakon. Aku hanya menerka-nerka cerita kesenian ini karena tak bisa kumengerti bahasa sang dalang. Namun tetap saja sebuah keindahan buatku. Aku duduk bersebelahan dengan beberapa turis luar negeri yang sudah pasti lebih bingung ketimbang aku. Sesekali aku membingkai interior rumah Joglo tempat kesenian wayang kulit ini berlangsung. Khas, sangat khas dengan budaya Jawa. Malioboro, goa Jomblang, goa Cokro, gunung purba Nglanggeran,  gua Mendep, Kalisuci, candi Prambanan, Ramayana Balet, Wayang Kulit, rumah Joglo, Keraton Jogja, alu-alun dan lain-lain menjadi persinggahan kami kali ini di kota Jogjakarta. Namun keunikan yang kami kunjungi barulah keindahan se-ujung kuku. Masih banyak ratusan destinasi lainnya yang berlokasi di kota indah loh jinawi ini. Jogjakarta, iya benar dia punya segalanya. Kota Sejuta budaya. Kota yang menjadi  kiblat para seniman kita. Batik, tari, makanan khas, penyanyi, pelukis, aktor, ulama semuanya dia punya. Tidaklah berlebihan jika banyak orang menyebut Jogjakarta sebagai  “Urat nadi budaya Jawa”.
 
Malam terakhir di Jogjakarta
Sore harinya kami menuju service center Yamaha untuk memeriksa kendaraan saya. Tidak lebih dari 30 menit, motor saya telah siap kembali membelah aspal pulau Jawa. Malam terakhir ini kami manfaatkan untuk bercengkerama di alun-alun selatan. Tepat pukul 22.00 kami menuju penginapan untuk beristirahat. Melanglang pandang kali ini telah usai. Kamipun telah siap menyusuri jalan di bagian selatan Jawa untuk menuju kembali ke Lampung.

Comments